Oleh: Soegianto@fst.unair.ac.id
SwaraBhayangkara.id – Jakarta – Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah lanskap kerja dan kehidupan sehari-hari, namun membawa tantangan serius: biaya akses yang semakin mahal. Saat ini, layanan AI premium seperti ChatGPT Pro, Perplexity Max, dan Google Gemini Ultra dilaporkan mencapai Rp3,2 juta per bulan, sementara Heavy Grok bahkan mencapai Rp4,8 juta. Harga ini setara atau melebihi gaji minimum di banyak wilayah Indonesia, mencerminkan tren menuju eksklusivitas di mana hanya kalangan dengan sumber daya besar yang mampu mengakses teknologi AI tercanggih. Meskipun versi gratis tetap tersedia, keterbatasannya—seperti potensi bias akibat iklan atau kemampuan terbatas—membuatnya kurang kompetitif. Fenomena ini memperlebar jurang antara mereka yang mampu membayar AI premium dan mereka yang bergantung pada opsi gratis atau tidak menggunakan AI sama sekali.
AI sebagai Kebutuhan Dasar
Dulu, penggunaan AI memberikan keunggulan kompetitif, namun kini telah menjadi kebutuhan dasar untuk tetap relevan di dunia kerja dan bisnis. Perusahaan pengembang AI menghadapi tekanan finansial besar, dengan biaya pengembangan mencapai triliunan rupiah. Sebagai contoh, OpenAI dilaporkan merugi Rp81 triliun pada 2024 meskipun memiliki pendapatan dari langganan. Untuk bertahan, mereka menaikkan harga langganan premium, sementara versi gratis dipertahankan untuk mengumpulkan data pengguna. Dalam beberapa tahun ke depan, diperkirakan akan muncul layanan AI dengan biaya hingga Rp10 juta per bulan, mampu menangani tugas kompleks seperti manajemen sumber daya manusia, konsultasi strategis, hingga pengawasan operasional real-time. Ketimpangan ini kemungkinan akan semakin menguat, di mana hanya individu atau bisnis dengan sumber daya besar yang dapat memanfaatkan potensi penuh AI.
Apakah Tidak Belajar AI Berarti Tertinggal?
Tidak mempelajari AI saat ini, terutama di bidang teknis, data-driven, atau industri yang bergantung pada efisiensi dan inovasi, kemungkinan besar akan menyebabkan ketertinggalan. AI telah menjadi standar di berbagai sektor, seperti teknologi, keuangan, manufaktur, dan kesehatan. Misalnya, perusahaan otomotif menggunakan AI untuk meningkatkan efisiensi produksi hingga 25% dan mengurangi biaya perawatan mesin sebesar 30% [berijalan.co.id]. Tanpa pemahaman dasar tentang AI, individu atau organisasi berisiko kehilangan daya saing di pasar yang semakin otomatis. Namun, tidak semua profesi memerlukan keahlian AI mendalam. Bidang seperti seni, psikologi, atau kepemimpinan masih mengandalkan keterampilan manusia, meskipun pemahaman dasar AI dapat meningkatkan efektivitas kerja.
Akses AI Saat Ini: Masih Terjangkau untuk Pemula
Meskipun layanan AI premium mahal, banyak alat AI dasar tersedia secara gratis atau dengan biaya rendah, memungkinkan pembelajaran tanpa investasi besar. Berdasarkan data terkini:
ChatGPT Plus: USD20/bulan (sekitar Rp300.000) [milenianews.com].
Gemini Advanced: USD19.99/bulan.
Copilot Pro: USD20/bulan.
Versi gratis seperti ChatGPT, Google Bard, dan Perplexity AI cukup untuk eksperimen dan pembelajaran dasar.
Platform seperti Kaggle dan Hugging Face menyediakan akses gratis ke model AI dan dataset untuk belajar. Biaya pengembangan aplikasi AI berkisar antara USD20.000 hingga USD50.000 untuk integrasi dasar, dan hingga USD100.000 untuk aplikasi asli [richestsoft.com]. Namun, untuk pengguna individu, alat-alat ini tidak memerlukan biaya pengembangan, melainkan hanya langganan atau penggunaan gratis.
Prediksi Masa Depan: Biaya AI Premium Akan Meningkat
Meskipun AI dasar masih terjangkau, layanan premium diperkirakan akan semakin mahal. Prediksi menunjukkan bahwa dalam 5 tahun, biaya AI premium bisa mencapai Rp10 juta per bulan, dengan kemampuan seperti manajemen HRD, konsultasi bisnis, dan analisis data real-time. Perusahaan seperti OpenAI membutuhkan pendapatan untuk menutupi biaya pengembangan yang besar, sehingga harga langganan premium kemungkinan akan terus naik. Namun, model AI sebagai layanan (AIaaS) diperkirakan akan menjadi lebih umum, memungkinkan perusahaan kecil dan menengah mengakses teknologi AI tanpa investasi infrastruktur besar [berijalan.co.id]. Meski demikian, individu atau bisnis tanpa sumber daya finansial yang cukup mungkin hanya dapat mengakses AI gratis dengan kualitas lebih rendah, memperkuat ketimpangan.
Langkah untuk Tetap Kompetitif
Untuk menghadapi era eksklusivitas AI, langkah proaktif harus diambil:
Manfaatkan AI untuk Pendapatan Berkelanjutan: Gunakan AI untuk mengembangkan produk, layanan, atau konten inovatif yang tidak mungkin dilakukan tanpa teknologi ini. Misalnya, AI dapat membantu membuat konten multibahasa atau analisis data untuk pengambilan keputusan [cloudcomputing.id].
Investasi pada AI Premium jika Mampu: Layanan premium menawarkan kecerdasan jauh lebih unggul, yang dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Belajar AI Sekarang: Manfaatkan sumber daya gratis seperti kursus online di Coursera, edX, atau komunitas AI untuk memahami dasar-dasar AI. Platform seperti AI Belajarlagi menawarkan layanan AI dengan harga terjangkau, seperti Rp99.000 [belajarlagi.id].
Beradaptasi dengan Perubahan: AI semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pemahaman dasar tentang cara kerjanya akan menjadi kebutuhan, bukan keunggulan.
Ketimpangan antara pengguna dan non-pengguna AI akan semakin membesar seiring kenaikan biaya layanan premium. Mereka yang tidak belajar AI saat ini, terutama di bidang teknis, berisiko tertinggal karena AI telah menjadi standar industri. Namun, saat ini, alat AI gratis atau murah masih tersedia, memungkinkan pembelajaran dasar tanpa biaya besar. Dengan memanfaatkan sumber daya ini dan mengembangkan keterampilan AI, kita dapat tetap kompetitif di era teknologi yang semakin eksklusif.
Soegianto @pengamat AI













