Bandar Lampung (Swarabhayangkara.id), 09 Desember 2025 – Gelap gulita menghiasi setiap langkah perjuangan para pendiri bangsa, tanpa pernah bertanya imbalan apa yang semestinya didapatkan. Pembebasan dari ketidakadilan para pendahulu mengajarkan tentang arti kemanusian. Ketidakadilan pada setiap negara mencerminkan bahwa ideologi sedang direnggut oleh keserakahan para koruptor.
Runtuhnya karakter bangsa dan urgensi telah mengakibatkan pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan dalam pembukaan UUD 1945 (Alinea ke-2 & ke-4), para pendiri bangsa menyatakan cita-cita: merdeka bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, pada fakta di lapangan banyas sekali problem yang tidak sesuai dengan janji dan sumpah para pemerintah bangsa ini. Masyarakat yang seharusnya lebih diutamakan dalam mengembangkan kualitas dan taraf hidup justru dijadikan sebagai ladang dan gembala untuk kepentingan sepihak. Wahai kalian para pemimpin jangan pernah kalian melupakan sejarah bangsa ini.
Bangsa ini lahir atas dasar kesatuan, keutuhan, keyakinan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebermanfaatan sehingga lahirlah NKRI. Apakah kalian tidak pernah berpikir wahai penguasa bangsa manusia-manusia yang kalian anggap sebagai rakyat jelata ini juga memiliki hak kebebasan yang sama seperti kalian. Apakah kami sebagai rakyat mu tidak pantas menikmati surga dunia pertiwi ini, sehingga kalian dengan semena-mena mengambil keuntungan untuk dinikmati hingga perut mu hancur.
Wahai para koruptor lihatlah para anak muda sekarang banyak sekali pengangguran dan lapangan pekerjaan semakin menurun. Dengan ketidakadilan ini justru kalian tutup mata seolah dunia ini milik kalian, rumah mewah, mobil mewah, dan segala fasilitas mewah selalu kalian hambur-hamburkan untuk menunjukkan strata sosial kalian. Kalian adalah benalu bangsa ini, yang tidak sekalipun terpikir bagaimana memajukan dan menegakkan keadilan bangsa ini.
Dan celakanya, dampak korupsi tidak hanya menghancurkan ekonomi negara, tetapi juga merembes ke ruang-ruang terkecil pendidikan—bahkan sampai ke dalam organisasi kampus. Ketika integritas nasional runtuh karena korupsi, nilai kejujuran, keadilan, dan pengabdian perlahan ikut terkikis dalam lingkungan mahasiswa. Apa yang terjadi di atas, direplikasi di bawah. Ketika pejabat saling berebut kekuasaan dan keuntungan pribadi, budaya yang sama tercermin pada dinamika mahasiswa: bukan lagi berjuang untuk kepentingan bersama, tetapi bersaing untuk pengaruh, nama, dan posisi.
Dinamika organisasi dalam kampus, semestinya dijadikan sebagai ranah untuk mempertahankan idealisme dan memperjuangkan hak-hak kemashlatan bersama. Namun, hingga pada saat ini gerakan mahasiswa antar organisasi internal dan eksternal selalu terjadi pro dan kontra. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan, bahwa ketika mahasiswa tersebut bergabung dengan salah satu organisasi eksternal. Maka peluang mahasiswa tersebut berproses di organisasi internal akan terhambat bahkan dikekang.
Mahasiswa sebagai agent of change, sudah terdengar tabu pada saat ini. Pola pikir mahasiswa yang sangat mudah terprovokasi akan berdampak pada integritas ormawa kampus. Seharusnya kita menjaga nilai-nilai luhur untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jika hal ini terus terulang maka pencarian jati diri mahasiswa ketika di kampus akan hilang. Problem yang begitu sulit dipecahkan hingga saat ini, bahkan terkadang tidak sedikit mahasiswa meninggalkan ormawa kampus.
Arus globalisasi selalu mengiringi perjalanan pendidikan tinggi di Indonesia, kecepatan digitalisasi berhasil menghipnotis mahasiswa. Tindakan media sosial yang bersifat menyimpang dalam norma hukum, adat, dan agama sangat rentan terjadi saat ini. Dampak negatif yang ditimbulkan yaitu kriminalisasi, pelecehan seksual, dan LGBT. Sudah saatnya kita sebagai mahasiswa bergerak dan berdampak untuk bangsa ini. Identitas mahasiswa harus dijaga dalam bingkai ideologi pancasila dan UUD 1945. Kita bukan seekor kerbau yang dijadikan sebagai alat politik untuk meraih tujuan golongan tertentu. Mahasiswa diharapkan menjadi seseorang yang bermanfaat dan memiliki pendirian ulul albab.
Permasalahan yang terjadi saat ini perlu dibenahi kembali untuk peraturan ormawa. Seharusnya media massa mampu berkolaborasi dengan mahasiswa agar mengetahui lebih detail terkait perkembangan dan dinamika organisasi kampus. Selain itu, pemerintah pusat seharusnya memberikan solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan ormawa saat ini. Jika permasalahan ini tidak segera ditangani tentu akan mempengaruhi lingkungan intelektualitas kampus. Sudah semestinya pemerintah turun tangan langsung untuk mengatasi dan memberikan sanksi terhadap mahasiswa yang melanggar peraturan organisasi.
Kampus bukan dijadikan sebagai ajang perlombaan, namun bagaimana kegiatan kampus dapat memberikan impact terhadap kemampuan mahasiswa baik secara akademik dan non-akademik. (Dikssss).













